DALAM
suatu kisah ada raja yang sangat disegani oleh rakyatnya. Apapun yang
disabdakan raja - atau para pembantunya, rakyat harus percaya. Suatu
hari raja membeli ‘baju baru’ dari tukang jahit kebanggaannya, konon
hanya rakyat yang bodoh dan tidak taat yang tidak bisa melihat baju baru
sang raja tersebut. Rakyatnya yang pinter dan taat harus bisa melihat
dan mengagumi baju baru sang raja. Maka raja-pun keliling negeri
mengenakan ‘baju-baru’nya untuk melihat kepandaian dan ketaatan
rakyatnya.
Maka sepanjang jalan yang dilaluinya, rakyat memenuhi
jalan sambil berdecak kagum atas keanggunan ‘baju baru’ sang raja. Namun
ada saja anak-anak kecil yang polos yang tidak termakan oleh kebohongan
kerajaan dan tidak ada beban ketakutan untuk menyatakan kebenaran.
Anak-anak kecil ini begitu melihat rajanya lewat berteriak ‘raja
telanjang- raja telanjang’, mereka tidak bisa melihat ‘baju baru’ sang
raja karena memang raja tidak memakai apa-apa alias telanjang.
Rakyat
yang berdecak kagum sepanjang jalan adalah sebagian karena takut
dianggap bodoh dan tidak taat, sebagian saking percayanya dengan
kebohongan yang dikarang – seolah bener-bener bisa melihat ‘baju baru’
sang raja.
Dalam hidup kita banyak sekali melihat ‘baju baru’
sang raja ini. Sebagian karena kita tidak ingin dianggap aneh, takut
dianggap tidak taat (pada siapapun), tidak percaya pimpinan, takut
dianggap membelot, atau saking percayanya dengan kebohongan – sehingga
menganggap kebohongan tersebut adalah kenyataan, karena memang tidak
bisa lagi melihat kebenaran.
Dalam dunia politik, sebagian besar
kita tetap memilih eksekutif maupun anggota legislatif yang jelas-jelas
tidak melaksanakan tugasnya. Hadir sidang-pun mereka tidak, bagaimana
mereka memperjuangkan hak rakyat ?. Dengan berbagai banyak kasus yang
menyakiti hati rakyat-pun kita tetap harus memilih mereka dan tetap
memanggil mereka ‘yang terhormat’ ?
Dalam dunia ekonomi kita
tetap mengaggap ekonomi liberal yang ada sekarang lah yang terbaik yang
harus diikuti, kita tidak melihat realita bahwa bangsa yang besar ini
hanya dijadikan pasar yang empuk dari produsen-produsen raksasa dunia.
Kita tidak melihat betapa banyak warung-warung tradisional yang harus
gulung tikar dengan hadirnya konglomerasi jaringan retail yang sampai
menjangkau kota-kota kecil di seluruh negeri.
Meskipun fakta
bahwa 9 dari 10 pensiunan tidak siap secara ekonomi, mayoritas kita
tetap berusaha mencari kerja karena mengganggap dengan bekerja sampai
pensiun itulah jalan untuk bisa memperoleh jaminan hari tua. Kita tidak
bisa melihat realita bahwa pensiunan dari jenis pekerjaan apapun –
sangat-sangat sedikit yang bisa mempertahankan kwalitas kesejahteraannya
setelah pensiun.
Kemampuan atau keberanian untuk melihat ‘baju
baru’ yang sesungguhnya dari sang raja inilah yang akan bisa membuat
perubahan. Para pemimpin eksekutif atau legislatif akan serius dengan
amanahnya bila rakyat secara terus menerus ‘meneriaki’ mereka atas
kelaliannya mengemban amanah, dan tidak lagi memilih mereka dan
partainya – bila mereka terbukti pernah melalikan amanahnya. Kapitalisme
tidak akan merebut ekonomi rakyat bila rakyat bersatu menentangnya dan
para pejabat tidak tergiur untuk berpihak pada mereka.
Para
pegawai akan berusaha keras untuk keluar dari tempat kerjanya dan
berusaha secepatnya bisa bekerja mandiri atau berwirausaha bila dia
sadar bahwa menunggu masa pensiun tidak menjamin kesejahteraannya di
hari tua. Untuk yang terakhir ini, sesungguhnya masalah pengangguran di
Indonesia bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan bila para pegawai
didorong untuk secepatnya keluar dan bisa mandiri.
Pertama posisinya
yang lowong bisa segera diisi oleh tenaga-tenaga baru yang masih fresh,
dan ketika mereka berhasil membangun usahanya sendiri – bukan hanya
lapangan kerja untuk dirinya yang tercipta tetapi juga lapangan kerja
bagi orang-orang lain.
Masalah lebih mudah diatasi bila kita
berbuat atas dasar fakta dan bukan semata atas dasar cerita. Perubahan
akan terjadi bila kita bisa melihat ‘baju baru’ yang sesungguhnya yang
dipakai sang raja. Wa Allahu A’lam.*
0 komentar:
Posting Komentar