Selasa, 26 Maret 2013

Kisah cinta antara Saidina Ali Ibn Abi Talib dengan Fatimah Az-Zahra

Ada rahsia terpendam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah Az-Zahra. Kawan karib sejak kecilnya, puteri tersayang dari Nabi S.A.W. yang adalah sepupunya itu, sungguh mempesonakannya.

Kesantunannya, ibadahnya, kecekalan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar kain perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Al-Amin tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!

Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.

Fathimah mengherdik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menjawab. Mengagumkan!

‘Ali tak tahu apakah rasa itu boleh disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar khabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Nabi S.A.W.. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu kata batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali,

namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berda’wah.

Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab bin Umair.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.

Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab bin Arat, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud..Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali?

Dari sisi kewangan, Abu Bakar seorang saudagar, insyaallah lebih dari mampu membahagiakan Fathimah. ’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harapan di hatinya yang sempat layu.

Lamaran Abu Bakar ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. ’Umar ibn Al Khaththab.

Ya, Al Faruq,

sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?

Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,

”Aku datang bersama Abu Bakar dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakar dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan ’Umar..” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu cuba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang kecewa karena tak menemukan beliau S.A.W.. Maka ia hanya berani berjalan di waktu kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. ’Umar pula telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.

”Wahai Quraisy”, katanya.
”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim,
atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sedar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak.
Dan ’Ali redha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika khabar itu tersiar. Lamaran ’Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman ibn Affan kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’  kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.

Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justeru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencuba kawan?”,
kalimat teman-teman kaum Ansharnya itu membangunkan lamunan. "Mengapa engkau tak mencuba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”

”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang boleh ku tawarkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Nabi S.A.W..

Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat tidak matang. Usianya telah dua puluhan sekarang.

”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul risiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!”

Kata itu meluncur tenang bersama senyum  Nabi S.A.W.. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu risiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan.

Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar kamu tidak mengerti, kata mereka,

”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!” Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah kediaman yang ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayarnya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. ’Ali adalah lelaki gentleman sejati.

Tidak hairan kalau pemuda Arab memiliki pepatah, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”

Inilah jalan cinta para pejuang.

Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali,

“Maafkan aku, kerana sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”

‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mahu menikah denganku?
dan Siapakah pemuda itu”

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, kerana pemuda itu adalah Dirimu”

Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab 4).

0 komentar:

Posting Komentar