Bekerja merupakan keniscayaan dalam hidup. Dalam suasana zaman yang
semakin sulit, kaum beriman dituntut mampu survive dan bangkit membangun
peradaban seperti sedia kala. Syarat untuk itu tidak cukup lagi
ditempuh dengan kerja keras, tetapi harus kerja cerdas.
Tidak ada
lain bagi kaum beriman kecuali harus mengkaji pandangan Islam tentang
etos kerja. Meski makhluk hidup di bumi sudah mendapat jaminan rezeki
dari Allah, namun kemalasan tidak punya tempat dalam Islam. Fatalisme
atau paham nasib tidak dikenal dalam Islam. Firman Allah, "...maka
carilah rezeki di sisi Allah, kemudian beribadah dan bersyukurlah kepada
Allah. Hanya kepada Allah kamu akan dikembalikan” (Qs Al-Ankabut: 17).
Menurut
ayat itu, rezeki harus diusahakan. Dan seakan mengonfirmasi ayat di
atas, firman Allah di ayat lain tegas menyatakan, cara mendapat rezeki
adalah dengan bekerja. “Jika shalat telah ditunaikan, maka menyebarlah
kalian di muka bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kalian beruntung” (Qs Al-Jumu’ah: 10).
Ayat
lain bahkan menyatakan, dijadikannya siang terang agar manusia mencari
rezeki dari Allah (Qs Al-Isra: 12), terlihatnya bahtera berlayar di
lautan agar manusia mencari karunia Allah (Qs An-Nahl: 14), adanya malam
dan siang agar manusia beristirahat pada waktu malam dan bekerja pada
waktu siang (Qs Al-Qashash: 73).
Masih banyak ayat serupa.
Intinya, rezeki Allah hanya akan diperoleh dengan etos kerja tinggi.
Bagaimana teknis pelaksanaan etos kerja sebagaimana perintah Allah di
atas?
Menurut riwayat Al-Baihaqi dalam ‘Syu’bul Iman’ ada empat
prinsip etos kerja yang diajarkan Rasulullah. Keempat prinsip itu harus
dimiliki kaum beriman jika ingin menghadap Allah dengan wajah berseri
bak bulan purnama.
Pertama, bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan).
Halal dari segi jenis pekerjaan sekaligus cara menjalankannya. Antitesa
dari halal adalah haram, yang dalam terminologi fiqih terbagi menjadi
‘haram lighairihi’ dan ‘haram lidzatihi’.
Analoginya, menjadi
anggota DPR adalah halal. Tetapi jika jabatan DPR digunakan mengkorupsi
uang rakyat, status hukumnya jelas menjadi haram. Jabatan yang semula
halal menjadi haram karena ada faktor penyebabnya. Itulah ‘haram
lighairihi’. Berbeda dengan preman. Dimodifikasi bagaimanapun ia tetap
haram. Keharamannya bukan karena faktor dari luar, melainkan jenis
pekerjaan itu memang ‘haram lidzatihi’.
Kedua, bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan an al-mas’alah).
Kaum beriman dilarang menjadi benalu bagi orang lain. Rasulullah pernah
menegur seorang sahabat yang muda dan kuat tetapi pekerjaannya
mengemis. Beliau kemudian bersabda, “Sungguh orang yang mau membawa tali
atau kapak kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya di atas
punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya, diberi
atau ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, setiap
pekerjaan asal halal adalah mulia dan terhormat dalam Islam. Lucu jika
masih ada orang yang merendahkan jenis pekerjaan tertentu karena
dipandang remeh dan hina. Padahal pekerjaan demikian justru lebih mulia
dan terhormat di mata Allah ketimbang meminta-minta.
Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi).
Mencukupi kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat
diwakilkan, dan menunaikannya termasuk kategori jihad. Hadis Rasulullah
yang cukup populer, “Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik
melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang
dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak, dan pembantunya
kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu Majah).
Tegasnya,
seseorang yang memerah keringat dan membanting tulang demi keluarga akan
dicintai Allah dan Rasulullah. Ketika berjabat tangan dengan Muadz bin
Jabal, Rasulullah bertanya soal tangan Muadz yang kasar. Setelah dijawab
bahwa itu akibat setiap hari dipakai bekerja untuk keluarga, Rasulullah
memuji tangan Muadz seraya bersabda, “Tangan seperti inilah yang
dicintai Allah dan Rasul-Nya”.
Keempat, bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga (ta’aththufan ala jarihi).
Penting dicatat, Islam mendorong kerja keras untuk kebutuhan diri dan
keluarga, tetapi Islam melarang kaum beriman bersikap egois. Islam
menganjurkan solidaritas sosial, dan mengecam keras sikap tutup mata dan
telinga dari jerit tangis lingkungan sekitar. “Hendaklah kamu beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah
telah menjadikanmu berkuasa atasnya.” (Qs Al-Hadid: 7).
Lebih
tegas, Allah bahkan menyebut orang yang rajin beribadah tetapi
mengabaikan nasib kaum miskin dan yatim sebagai pendusta-pendusta agama
(Qs Al-Ma’un: 1-3). Itu karena tidak dikenal istilah kepemilikan harta
secara mutlak dalam Islam. Dari setiap harta yang Allah titipkan kepada
manusia, selalu menyisakan hak kaum lemah dan papa.
Demikianlah,
dan sekali lagi, kemuliaan pekerjaan sungguh tidak bisa dilihat dari
jenisnya. Setelah memenuhi empat prinsip di atas, nilai sebuah pekerjaan
akan diukur dari kualitas niat (shahihatun fi an-niyat) dan pelaksanaannya (shahihatun fi at-tahshil). Itulah pekerjaan yang bernilai ibadah dan kelak akan mengantarkan pelakunya ke pintu surga.
0 komentar:
Posting Komentar