Sabtu, 10 Oktober 2009

Termos


Seorang anak memperhatikan ibunya yang sedang menuang air mendidih ke sebuah wadah. Terlihat kepulan asap yang mengiringi aliran air panas itu ke tempat yang ia belum paham.

"Apa itu, Bu?" tanyanya sesaat kemudian. Sang ibu menoleh perlahan sambil tangannya memegang kuat ceret berisi air panas yang masih terus mengalir ke tempat baru itu. "Oh, ini. Termos, Nak!" jawabnya singkat. Ia pun menuntaskan kegiatannya. Sebagian air panas dituang ke termos, dan sisanya masih berada di ceret.

"Kenapa dituang ke termos, Bu?" sang anak terus memperlihatkan rasa ingin tahunya. Ia tidak peduli kalau ibunya masih sibuk menutup dan memindahkan termos ke tempat semula. Setelah itu, sang ibu pun menoleh ke buah hatinya.

"Anakku. Termos itu tempat menyimpan air supaya tetap hangat," jawab sang ibu sambil senyum ke arah sang anak. "Sore nanti, kamu akan lihat kegunaannya," tambah sang ibu sambil membelai rambut si anak yang masih balita itu. Si anak pun mulai penasaran.

Akhirnya, sore pun datang. Dan, bocah yang selalu ingin tahu itu pun mendapatkan pelajaran baru dari ibunya. "Sini, Nak!" ucap sang ibu sambil menuangkan air dari termos ke gelas. "Apa yang kamu lihat, sayang?" tanya sang ibu seraya menatap wajah buah hatinya penuh bijaksana. "Airnya masih hangat, kan!" Sang anak pun mengangguk.

Pikirannya pun mengikuti gerak langkah ibunya yang kemudian menuangkan air dari ceret ke gelas yang lain. "Dan ini, coba kamu perhatikan. Air di ceret sudah tidak hangat lagi. Padahal, sumbernya sama-sama dari air yang tadi ibu masak," tutur sang ibu kemudian.

"Aneh ya, Bu?" respon si anak kemudian. "Anakku. Wadah termos terdiri dari kaca yang saling memantul. Dan dalam termos pun kedap udara. Itulah di antaranya, kenapa air dalam termos bisa tetap hangat!" jelas sang ibu seraya menatap buah hatinya yang mengangguk perlahan. *** Dalam diri manusia ada jiwa yang sangat menentukan seperti apa keadaan perilaku mereka. Jiwa yang terhangatkan oleh cahaya keimanan akan membangkitkan kesegaran optimisme, kesabaran, dan keikhlasan. Seorang mukmin mesti pandai-pandai menjaga kelanggengan kehangatan itu dalam sebuah termos jiwa. Di situlah, kehangatan tersimpan baik dalam pantulan cermin hati yang bersih dan suasana yang kedap dari segala kotoran. Dan, kehangatan jiwa pun akan terus terjaga.

Jangan biasakan jiwa yang semula hangat hanya tersimpan begitu saja dalam ceret yang terbuka. Karena kehangatan itu akan segera menguap bersama hembusan angin lingkungan yang tidak tentu arah.

Sayangnya, si empunya jiwa kerap tak sadar, kalau jiwa yang beberapa saat lalu masih hangat, ternyata sudah dingin. Bahkan mungkin sudah tercemar. (muhammadnuh@eramuslim.com)

0 komentar:

Posting Komentar