Sabtu, 10 Oktober 2009

Bendera


Di sebuah desa, murid-murid madrasah tampak berbaris membentuk regu barisan. Tiap regu memegang satu bendera yang terikat pada batang bambu berukuran satu meter. Rupanya, mereka sedang mengikuti lomba gerak jalan keliling desa.

Sebelum berangkat, seorang guru memberikan arahan. “Anak-anakku. Perhatikanlah benderamu. Jadikan dia sebagai dirimu sendiri!” ujar sang guru singkat. Dan, berangkatlah murid-murid tsanawiyah itu begitu semangat. Mereka bergerak begitu rapi sambil tetap mengikuti arah bendera di barisan depan.

Jarak tempuh lomba itu tergolong jauh buat ukuran anak kota. Mereka melewati kampung-kampung, jalan raya antar kota, dan berputar balik menuju tempat semula. Setelah dua jam berjalan, barisan tidak lagi seperti ketika berangkat.

Ada yang akhirnya berbentuk segitiga, lingkaran, bahkan tidak berbentuk sesuatu yang jelas alias kocar-kacir. Hanya satu hal yang masih tetap seperti semula: posisi bendera yang terus berkibar. Mungkin, sebagian anak-anak menganggap kalau pesan guru sebagai kata kunci. Yang penting bendera.

Setelah semua regu tiba di garis finis, pemenang lomba pun diumumkan. “Pemenangnya regu padi!” ucap sang guru disambut tepuk tangan.

Beberapa murid mengangkat tangan. “Maaf, Pak. Barisan regu padi memang rapi. Tapi, mereka beberapa kali tidak mengangkat gagang bendera. Sementara kami terus mengangkat bendera ke udara. Bukankah bapak mengatakan yang penting bendera!” suara protes dari seorang murid.

“Anakku,” ucap sang guru begitu wibawa. “Kamu salah paham soal bendera. Bendera bukan sekadar selembar kain yang terikat di tiang bambu. Bendera itu adalah citra. Kamu sekalian adalah bendera yang berjalan!” jelas Pak Guru begitu gamblang. Semua murid-murid pun terdiam, mencoba memahami ucapan sang guru.
**
Ketika seseorang terikat dengan sesuatu di luar dirinya: bisa agama, organisasi, korps; ia sebenarnya sedang menjadi bendera bagi agama, organisasi, atau korpsnya. Baik buruk bendera pada akhirnya sangat ditentukan dari citra yang ia perlihatkan.

Seperti itulah yang dilakukan musuh-musuh Islam untuk menjelekkan citra Islam yang sebenarnya bersih dan indah. Cukup dengan menyorot keterbelakangan umat Islam, konflik yang tidak pernah habis, dan terakhir isu terorisme; Islam yang indah pun tercitrakan buruk. Islam menjadi terbenderakan oleh keadaan umatnya.

Kita adalah bendera yang berjalan. Semakin besar dan jauh cakupan sepak terjang kita, semakin banyak yang menilai bendera kita.

Jadi, bukan agama, organisasi, atau korpsnya yang berubah menjadi buruk. Perilaku dan sepak terjang kitalah yang akhirnya mencitrakan seperti apa orang akan menilai bendera kita. (muhammadnuh@eramuslim.com)

0 komentar:

Posting Komentar