Sebuah petuah Ali bin Abithalib r.a. mengatakan,” Mereka yang sibuk menghitung kesalahan dirinya akan sibuk, sehingga tidak akan sempat mencari kesalahan orang lain.”
Nasihat berharga dari Khalifah ke-4 Ali bin Abithalib r.a. itu dimaksudkan untuk mengajak manusia berkaca pada dirinya, suatu hal yang jarang dilakukan orang – agar kita selalu mengintrospeksi diri, tidak berkacamata kuda dan merasa benar sendiri, hebat atau arogan.
Dalam khazanah budaya kita, nasihat itu muncul dalam pepatah,” kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak.”
Dalam tataran pribadi, hal itu sangat benar adanya. Tapi dalam komunikasi sebuah bisnis – baik yang dilakukan oleh orang pemasaran maupun Public Relations (PR) – maka melihat ‘orang lain’, dalam hal ini pesaing, kiranya menjadi sangat penting.
Bukan hanya melihat kelemahan mereka, melainkan – yang lebih utama – adalah mengintip bagaimana ‘kehebatan’ pesaing. Sehingga seperti dalam ‘perang’ – dan bukankah tujuan memenangi usaha adalah ‘untuk memenangkan perang melawan pesaing’? – organisasi haruslah mengetahui di mana titik lemah dan kekuatan diri kita dan lawan.
Selain itu, manajemen juga meninjau apa saja kesempatan yang tersedia dan apa ancaman yang ada di luar sana. Dalam bahasa usaha, hal itu sering dilakukan secara sistematis melalui analisa SWOT, Strength, Weakness, Opportunity danThreat.
Pada dasawarsa lalu, melihat pesaing dan menganalisa kekuatan diri itu dilakukan lewat cara-cara konvensional. Jika Anda punya toko di Pasar Senen, Jakarta, misalnya, maka sesekali Anda akan mengintip kualitas barang dan harga yang di ‘toko sebelah’.
Tapi sekarang, persaingan terjadi secara lebih terbuka, lebih transparan – dan sering bisa dilihat pada ‘real time’ – tak usah menunggu nanti. Seorang pembeli tiket pesawat misalnya, bisa secara mudah membandingkan harga berbagai maskapai penerbangan pada saat yang sama lewat situs Internet.
Bahkan dari telepon seluler di tangan pun konsumen seperti kita bisa melihat perbandingan fitur dan harga sebuah produk secara cepat.
Maka di dalam persiapan memenangkan ‘perang’ melawan pesaing itu, para ahli menyarankan agar setiap organisasi atau perusahaan terus memonitor apa yang dibicarakan khalayak di dunia maya – baik itu di situs Internet maupun di jejaring sosial.
Penting untuk menggarisbawahi peran media sosial itu. Sebab jejaring sosial sekarang telah menjadikan ‘publik’ kembali ke dalam fungsi ‘Public Relations’ yang sebenarnya.
Bila dulu publik – alias khalayak – kadang sulit direngkuh oleh organisasi, kini mereka menjadi begitu dekat; begitu mudah dijangkau. Dalam waktu singkat sebuah organisasi bisa mendekati khalayaknya lewat fasilitas jejaring sosial yang dibangunnya, bahkan dalam jumlah yang begitu banyak, meski mereka berada di lokasi yang jauh dan terpencil.
Seorang seperti Presiden Obama, misalnya, bisa saling berkomunikasi secara mudah dengan siapa pun lewat akun Facebook atau Twitter sang presiden. Coba saja lihat, akun Barrack Obama –yang disiapkannya untuk pemilu presiden 2012 -- di Facebook.
Hingga 5 Oktober kemarin akun itu telah memiliki lebih dari 23 juta penggemar (‘like’), jauh di atas akun resmi Gedung Putih (‘White House’) yang hanya mempunyai 1,173,254 penggemar.
Menyadari manfaat media sosial itu, setiap hari beberapa kali Obama memperbaharui statusnya di Facebook, antara lain dengan mengirimkan informasi mengenai apa yang telah atau hendak dilakukannya pada hari itu, atau menulis kutipan-kutipan (‘quotes’) yang sebagian besar diambil dari pidatonya di berbagai kesempatan.
Tak hanya itu. Untuk lebih dekat dengan audience-nya, melalui situs barackobama.com pada 5 Oktober lalu sang presiden membangun halaman khusus ‘Tweet for Jobs’, guna mengundang masyarakat umum untuk menekan Konggres agar meloloskan program penciptaan lapangan kerja “the American Jobs Act” yang diusulkannya.
Obama rupanya tahu benar bahwa di media itu orang tidak bisa hanya melakukan komunikasi satu arah dan tidak bisa lagi mengontrol apa yang ingin didengar dari khalayak; tak bisa mengontrol apa yang hendak dikatakan para pengguna, dan tidak ada hierarki sebagaimana media konvensional dulu.
Para praktisi komunikasi, PR dan marketing, tahu benar bahwa kini mereka tidak bisa lagi menjadi penjaga gawang (gatekeeper) arus informasi atau berita yang keluar-masuk antara para petinggi organisasi dan masyarakat luas.
Sekarang ini yang ada adalah soal komunikasi dua arah – atau bahkan banyak arah; yang ada adalah bagaimana Anda mempengaruhi – bukan mendikte – khalayak, soal kemurnian (seberapa otentiknya info Anda) dan kepercayaan yang Anda bangun di mata masyarakat luas.
Selain itu, yang tidak kalah penting juga adalah perkara bagaimana agar Anda ditemukan oleh publik atau pasar – sehingga di tengah belantara jejaring Internet itu seseorang di tengah hutan Amazon bisa mendapatkan produk yang hendak dibelinya dari produsen di seberang lautan Pasifik.
Karena khalayak – yang terhubung satu dengan lainnya melalui ‘interactivity ‘ -- bisa menciptakan informasi yang mereka inginkan (dan bukan yang Anda ciptakan saja) dan menyebarkannya, maka Anda tak punya daya kontrol terhadap mereka. Maksimal yang bisa Anda lakukan adalah memengaruhi mereka, misalnya dengan mengikuti percakapan (‘conversation’) yang terjadi.
Dari kegiatan itu, Anda kemudian berharap akan muncul penyebutan nama situs perusahaan atau produk Anda, sehingga ada jejak atau alamat URL – yang sering disebut juga sebagai breadcrumbs , agar orang tertarik berkunjung ke tempat (situs) Anda. Itu disebut “findability” – makin mudah laman Anda ditemukan, makin tinggi kemungkinan orang membeli atau tertarik pada organisasi Anda.
Berhubung setiap pengguna Internet bisa menciptakan informasi dan menggalang komunitas serta komitmen mereka, maka setiap organisasi yang ingin memenangkan ‘perang’ dalam persaingan mesti bertindak proaktif, membangun hubungan dan membinanya secara bijak, antara lain dengan cara ‘mendengar’, terlibat dalam perbincangan yang ada dan segera memberikan respon balik dalam waktu singkat. Dengan kata lain, Anda harus berpartisipasi – karena pada zaman ini ‘diam bukanlah emas’.
Selain itu, Anda mesti menunjukkan kerendahan hati dan sikap yang otentik, jujur dan apa adanya – sebab tindakan menutup-nutupi informasi akan dengan mudah dipatahkan oleh luasnya pertukaran informasi yang terjadi secara transparan, cepat dan gratis.
Bila itu dilakukan, keuntungan yang Anda peroleh justru kian tinggi. Bahkan berkat itu pula Anda dapat ‘mencium’ bau sebuah isu penting, sebelum ia membesar menjadi krisis yang mungkin sedang mengancam.
Walhasil, apa yang terjadi dalam perbincangan di dunia virtual itu bisa menjadi tempat kita berkaca diri, dan sekaligus mengintip apa yang dilakukan pesaing di luar sana.
0 komentar:
Posting Komentar